sebuah sajak:
lewat
mungkin aku lewat bagi menyatakan
embun sudah meresapi bau malam
cemara dilindungi rumah lembayung
pohon gementar kedinginan
angin menghantar sepi ke teliga.
waktu mimpi dilapisi kenyataan
sempat untuk menyelak lembaran kusam
tentang sejarah orang-orang yang terdahulu
membina rumah madah di atas tanah lapang
rimbunan ceritera dihamparkan
tikarnya adalah mata yang teliti.
membundarkan pengalaman di antara celahan duga
mempintarkan renungan sepi
pecahan bongkah batu bertemu ahlinya
dan nyawa badan diterbangkan ke awan
mengalir dari langit hujan
membasah di kolam tepi danau
suara merdu cedokan air ke wadah.
dan tepukan ke atasnya akan menyimbah
ke wajah keceriaan
dari sini jualah bahasa dirumus
dari perasaan yang senang
menyenangi naluri manusiawi.
dahan pohon merendang
disusupi angin lalu mengheret bahang
ke tengah bendang, meleretkan lalang ke condong arah
dari jauh pondok diisi dengan manusia
dan kebun digauli tuan amanahnya.
budi kepada tanah
kepada lautan disyairkan
dan kepada hutan didenai
tiada perasaan bimbang kecuali syukur
yang tinggi kepada yang memberi
setiap hari bahasa akan ditutur
dari anjung ke tangganya
adabnya penuh madah dan terpelihara.
jiwa yang damai dalam pantun
kias ibarat dalam peribahasa
santun agama dalam syiarnya
dari leluhur yang menyediakan wadah
mengisi susur hidup yang bermaruah.
hilangkah semua bahasa ini
dari lidah orang masakini
yang rela menggantikannya dengan bahasa asing
yang tingginya adalah ego seteru
dan rendahnya jatidiri
sekarang dipulas hingga mengalir
kebimbangan tentang anak bumi
tidak pandai mengucapkan bahasanya
yang telah reput adabnya
atau terkikis santunnya.
kerana kepintaran itu digantikan dengan
kebijakan asing, konon untuk ke dunia besar
yang canggihnya adalah mereka
yang kita hanya mengikuti dari jauh
dan memuji kepada yang sedia rapuh.
sesungguhnya cinta ini sudah sedia lusuh
bukti perlu kembali kepada bahasa pertama
ditutur kerana merangkum kepintaran
yang menolak kedangkalan.
12 ramadan 1429
12 september 2008
.
No comments:
Post a Comment